Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Meningkatnya Angka Positif Covid-19 di Indonesia

Credit: pixabay.com


Sudah setengah tahun masyarakat Indonesia dibuat khawatir dengan keberadaan virus corona yang kapanpun dan dimanapun bisa menginfeksi siapa saja. Sejak presiden mengumumkan kasus pertama covid-19 di Indonesia pada bulan Maret lalu, hingga kini angka penularannya semakin meningkat. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah guna menekan angka penularan virus, akan tetapi hingga kini belum membuahkan hasil. 

Bulan April lalu pemerintah secara resmi mengumumkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sehingga beberapa daerah di Indonesia kala itu juga menerapkan PSBB di daerah masing-masing. Pembatasan-pembatasan aktivitas di luar rumah telah diterpakan pada masa ini. Mulai dari meliburkan sekolah-sekolah dan menggantinya dengan belajar dari rumah, bekerja dari rumah (work from home), pemberhentian operasional beberapa transportasi umum, hingga larangan mudik lebaran.

Dampak pandemi covid-19 bukan hanya menyerang kesehatan, akan tetapi juga memberikan dampak negatif bagi perekonomian. Pada bulan Juni pemerintah mulai memberlakukan New Normal atau tatanan kehidupan baru guna menyelamatkan perekonomian negara. Pada masa ini, meskipun belum sepenuhnya bebas pemerintah telah memberikan beberapa kelonggaran bagi masyarakat untuk menjalankan aktivitas di luar rumah dengan catatan tetap mematuhi protokol kesehatan yang telah ditentukan. Kantor-kantor mulai dibuka kembali, angkutan umum mulai beroperasi, pusat perbelanjaan mulai boleh dikunjungi, dan beberapa tempat wisata mulai menerima wisatawan, meskipun kegiatan belajar-mengajar masih online.

Seakan memaknai ‘New Normal’ atau PSBB Transisi sebagai kondisi ‘Normal’ masyarakat semakin abai dengan protokol kesehatan. Berbagai sanksi telah diterapkan, mulai dari kerja sosial, push up, denda hingga menggali kuburan untuk memakamkan jenazah korban covid-19. Namun nyatanya belum membuat masyarakat jera. Terbukti di DKI Jakarta, dilansir dari kompas.com, jumlah denda yang diperoleh dari pelanggar protokol kesehatan selama bulan Juni 2020 hingga 31 Agustus 2020 mencapai angka 4 milyar rupiah. Bahkan di Jawa Barat, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jawa Barat, Ridwan Kamil, mencatat per 26 September 2020 jumlah pelanggar protokol kesehatan covid-19 mencapai angka 637.102 orang.

Bukan hanya orang pribadi yang melanggar protokol kesehatan. Per 4 Agustus lalu Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta menutup 3 kantor karena melanggar protokol kesehatan. Bentuk pelanggaran tersebut yakni tidak mematuhi pembatasan jumlah karyawan yang bekerja di kantor. Pihak pemerintah membatasi jumlah karyawan yang bekerja di kantor tidak melebihi 50%, akan tetapi kantor-kantor yang dinyatakan melanggar dan ditutup telah melebihi dari kuota yang ditentukan  pemerintah.

Badan Pusat Statistik merilis data kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan selama periode 7-14 September 2020 berdasarkan survei terhadap 90.967 responden. Hasilnya bisa disimpulkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya mematuhi protokol kesehatan. 91,98% responden menyatakan selalu memakai masker, 75,38% responden menyatakan selalu mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik, dan hanya 73,54% responden selalu menjaga jarak minimal 1 meter.

Dampaknya, per September 2020 kasus penularan covid-19 di Indonesia memecahkan rekor nasional. Rata-rata pada bulan ini (hingga 27 September) jumlah orang terkonfirmasi terinfeksi covid-19 per harinya mencapai angka 3.003 hingga 4.823 dengan jumlah total kasus covid-19 di Indonesia mencapai 278.722 per 28 September 2020.

Melihat pesatnya penyebaran covid-19 di Indonesia, DKI Jakarta sebagai provinsi dengan jumlah kasus dan penularan terbanyak di Indonesia pada pertengahan September lalu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memberlakukan PSBB ketat di Ibukota. Bukan hanya Jakarta, semakin memuncaknya grafik penyebaran covid-19 di Indonesia tentunya harus menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah daerah lain untuk menyiapkan strategi guna menekan angka penyebaran. 

Fakta di atas, merupakan salah satu contoh gambaran penegakan hukum di Indonesia. Banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, dan kebahagiaan dari hukum itu sendiri. Pada dasarnya hukum bisa diterima oleh masyarakat apabila hukum itu melindungi kepentingan masyarakat. Namun apa yang akan terjadi ketika masyarakat abai terhadap kepentingannya sendiri dengan hanya menganggap remeh hukum.

Sebagai sebuah sistem, dalam penegakannya hukum tidak dapat berdiri sendiri. Atau dengan kata lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrance M. Friedman bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum  merupakan suatu kelembagaan yang diciptakan guna mendukung bekerjanya sistem hukum. Substansi hukum yakni hukum itu sendiri yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. Sedangkan budaya hukum merupakan nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan kapan, dimana, mengapa rakyat datang kepada hukum atau pemerintah atau justru menghindari keduanya.

Ketiga komponen tersebut merupakan indikator penegakan hukum yang dapat menunjukkan berhasil atau tidaknya penegakan hukum. Dengan kata lain ketiga komponen tersebut harus sama-sama beriringan demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri.

Apabila berbicara mengenai kepatuhan  masyarakat terhadap hukum sebagaimana contoh permasalahan di atas, maka sangat erat kaitannya dengan budaya hukum. Selaras dengan pendapat Esmi Warrasih  (2005) yang menyatakan bahwa seseorang menggunakan atau tidak menggunakan hukum, patuh atau tidak patuh terhadap hukum sangat tergantung pada kulturnya.

Lantas, apa saja yang membuat seseorang atau masyarakat tidak patuh terhadap hukum. Sehingga tujuan hukum itu sendiri tidak tercapai atau lebih jauh lagi cita-cita penegakan hukum seakan hanya angan-angan belaka. Secara umum, terlepas dari kasus di atas, penyebab rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum adalah sebagai berikut:

1. Penguasa dan pembentuk peraturan perundang-undangan sebagai role model bagi masyarakat.
Peran penguasa dan pembentuk peraturan perundang-undangan sebagai panutan harus pantas untuk dijadikan sebagai role model masyarakat. Para pemangku kewenangan tersebut harusnya bijak, berbudi dan mengayomi masyarakat. Bukan sebaliknya, justru mengabaikan perannya sebagai pelayan masyarakat dan memanfaatkan kursi kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Karenanya hal yang wajar jika masyarakat merasa hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan oleh para pemangku kewenangan. Akibatnya hukum yang dihasilkan hanya dijadikan sebagai angin lalu oleh masyarakat, hanya diacuhkan dan tidak ada lagi kesadaran hukum dalam masyarakat.

2. Aparat penegak hukum dan pembentuk perundang-undangan adalah satu kesatuan.
Demi tercapainya cita penegakan hukum, para pemangku kewenangan- pembentuk peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum- dan masyarakat merupakan satu kesatuan. Jika salah satu saja tidak berjalan sebagaimana mestinya maka dapat dipastikan terwujudnya hukum yang tegak hanya angan-angan belaka.

Apabila yang terjadi dalam proses pembuatan hukum legislator mereduksi nilai-nilai dalam masyarakat, hanya menguntungkan golongan tertentu. Kemudian dalam penegakannya aparat mudah disuap, memutar balikkan fakta, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Sehingga hukum yang ada jauh dari hukum yang harus kompeten dan  juga adil, hukum yang seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen tercapainya keadilan substantif sebagaimana yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznik (2013).

Jika demikian keadaannya, maka hal yang lumrah jika masyarakat mengembangkan budaya yang tidak kondusif dan jauh dari tujuan utama, yaitu penegakan hukum. Misalnya main hakim sendiri, tidak bersahabat dengan aparat, hingga pengabaian hukum. Karenanya secara tidak langsung para pemangku kewenangan itu sendirilah yang berperan sebagai komponen dasar sehingga memiliki pengaruh yang besar terhadap penegakan hukum.

3. Persepsi masyarakat terhadap hukum.
Pada dasarnya jika masyarakat menganggap hukum dipraktikkan oleh pemerintah dirasa baik dalam menjamin keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat akan berperilaku sesuai hukum. Sebaliknya, jika masyarakat merasa secara substansial hukum yang berlaku cenderung merugikan kepentingannya maka masyarakat akan kurang taat dan memunculkan peran yang kontradiktif terhadap hukum.

4. Tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Kesadaran masyarakat terhadap hukum dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Apakah masyarakat dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari risiko hidup bersama.

Sering dijumpai dalam masyarakat, sekalipun masyarakat tersebut sadar akan hukum yang berlaku di negaranya belum tentu masyarakat tersebut patuh terhadap hukum tersebut. Hal ini bisa disebabkan adanya tuntutan kesetiaan yang saling bertentangan. Misalnya masyarakat dituntut untuk setia dan patuh pada hukum negara, yang disisi lain bertentangan dengan kesetiaan terhadap kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Sehingga salah satu kesetiaannya itu harus ia korbankan untuk memenuhi kesetiaan yang lain. Dan bukan hal yang mustahil kesetiaannya terhadap hukum negara dia kesampingkan  demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Meskipun budaya hukum lebih lekat dengan masyarakat, bukan berarti pemerintah atau alat negara lainnya tidak mengambil peranan dalam perkembangan budaya hukum tersebut. Justru sebaliknya peranan pemerintah, legislator maupun aparatur penegak hukum sangat penting untuk menciptakan budaya hukum yang selaras dengan cita-cita penegakan hukum. 

Apabila berkaca dari kasus di atas, cukup jelas bagi kita semua untuk tahu bagaimana budaya hukum di Indonesia. Untuk ke depannya bisa dijadikan pembelajaran bagi pemerintah, legislator maupun aparat penegak hukum untuk lebih maksimal dan bijak dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Sehingga berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap alat-alat negara.

Sebaliknya, bagi masyarakat harus menyadari bahwa pada dasarnya hukum dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat yang lebih tertib, adil, dan teratur. Terlepas dari baik buruknya produk hukum tersebut sudah kewajiban masyarakat untuk patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku.


Sumber:
Nonet, P, dan Selznick, P. 2013. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi. Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis.

Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Surya Alam Utama.

Jainah, Zainab O., “Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Keadilan Progresif, Vol.2, No.2, 2011.

Purba, Iman P.M.H., “Penguatan Budaya Hukum Masyarakat untuk Menghasilkan Kewarganegaraan Transformatif”, Jurnal Civics, Vol.14, No.2, 2017.

Yunus, Nur Rohim, “Menciptakan Budaya Hukum Masyarakat Indonesia dalam Dimensi Hukum Progresif”, Jurnal Supremasi Hukum, Vol.11, No.1, 2015.

Sumber berita:
Kompas.com
Tribunnews.com
CNN Indonesia
Katadata.co.id
Merdeka.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.