Nasib Dana Nasabah Ketika Bank Bankrut

Credit: pixabay.com



Sebagian dari kita mungkin sudah sejak kecil, bahkan sebelum mengenal bangku sekolah, diajarkan orang tua untuk menabung. Menyisihkan sebagian uang jajan dan memasukkannya ke dalam sebuah wadah yang disebut ‘celengan’ dengan harapan di kemudian hari bisa ditukarkan dengan mainan idaman. Memang sesederhana itu arti dan tujuan menabung yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya. 

Namun seiring bertambah dewasanya seseorang serta kemajuan teknologi perbankan yang menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan bagi nasabahnya, orang-orang mulai beralih dari cara tradisional menyimpan uang (menabung) ke cara yang lebih modern yaitu menabung di bank. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka  meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Dari bunyi pasal di atas jelas bahwasannya bank bukan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan uang, akan tetapi juga berperan sebagai penyalur dana kepada masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketika seseorang menabung di bank, dana yang disetorkan pada bank tersebut akan diputar lagi ke masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit. Sehingga dapat disimpulkan bank merupakan lembaga perantara keuangan antara masyarakat yang kelebihan dana dengan masyarakat yang kekurangan dana. 

Sebagai badan usaha yang berperan untuk menyalurkan dana masyarakat, keberadaan bank di Indonesia bertujuan  menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992). Karenanya keberadan bank dalam suatu negara sangat penting guna menunjang pertumbuhan ekonomi. 

Di Indonesia, dengan penduduk yang hampir menyentuh angka 270 juta jiwa menurut data LPS per Agustus 2020 ada sekitar 175.994.476 rekening yang tercatat di sejumlah bank di Indonesia. Artinya sekitar 65% penduduk Indonesia menyimpan dananya di bank. Minatnya masyarakat untuk mempercayakan uangnya pada bank tidak lepas dari berbagai fasilitas yang ditawarkan oleh masing-masing bank, disamping berbagai kelebihan yang dimiliki oleh bank secara umum.

Berikut merupakan kelebihan yang diperoleh jika seseorang menyimpan dananya di bank:
1. Mendapat bunga
Hampir semua bank menjamin bunga bulanan kepada nasabahnya. Bunga ini diperoleh dari perputaran uang nasabah serta keuntungan bank. Setiap bank memiliki kebijakan yang berbeda untuk menetapkan jumlah bunga yang akan diberikan pada nasabahnya, sehingga besaran bunga yang diperoleh dari satu bank dengan bank yang lain berbeda. Bunga juga ini lah yang menjadi daya tarik masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank alih-alih di celengan;

2. Keamanan terjamin
Bank merupakan tempat yang aman untuk menyimpan uang. Di dalam bank uang yang ditabung di sana akan disimpan dalam sebuah tempat yang tidak dapat diakses oleh siapapun, kecuali pegawai bank itu sendiri. Di samping itu, setiap bank juga bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin simpanan para nasabah di bank aman. Sehingga apabila terjadi kesalahan atau hal yang tidak diinginkan,  pihak bank lah yang akan bertanggungjawab. Beda halnya jika menabung uang di rumah, apabila terjadi kesalahan atau suatu hal yang tidak diinginkan maka tidak akan pihak ada yang dapat dimintai pertanggung jawaban;

3. Bebas bertransaksi
Bank menawarkan fasilitas bertransaksi mulai dari menabung, menarik uang, mengirim uang (transfer) kapanpun dan sesuai dengan keinginan nasabah selama jam kerja bank. Namun, diluar jam kerja, ketika bank sudah tutup, nasabah bisa bertransaksi menggunakan ATM yang bisa diakses bebas selama 24 jam. Terlebih di masa sekarang internet sudah menjadi bagian hidup masyarakat, bank pun mengembangkan fasilitas internet banking atau mobile banking, yang mana nasabah hanya perlu mengoperasikan smartphone mereka untuk bertransaksi dimanapun dan kapanpun via internet;

4. Simple dan praktis
Dengan menyimpan uang di bank nasabah tidak perlu khawatir dengan keamanan uang yang dimiliki. Sistem keamanan bank yang dirancang sedemikian rupa dapat menjamin keamanan uang nasabah yang disimpan di bank tersebut. Disamping itu, fasilitas ATM yang diberikan oleh bank memudahkan nasabah dalam bertransaksi atau membelanjankan uangnya dengan tidak membawa uang cash;

5. Jangka panjang
Menyimpan uang di bank tidak terbatas oleh waktu. Mungkin bagi orang yang cenderung mudah tergiur untuk menghabiskan uang, menabung di bank bisa menjadi solusi. Bank juga memberikan pilihan jenis tabungan berjangka yang akan mengatur sedemikian rupa hingga tabungan nasabah bisa ditarik kembali ketika sudah memenuhi jangka waktu yang telah ditentukan. Ini tentu akan berbeda jika menabung di celengan yang setiap saat uang bisa diambil, sehingga tabungan akan berumur pendek.

Di dunia ini tidak ada yang sempurna, demikian juga dengan menabung di bank. Disamping berbagai kelebihan yang menjadi daya tarik masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank ternyata menabung di bank juga memiliki kekurangan-kekurangan tersendiri. Adapun kekuarangan tersebut, antara lain:
1. Biaya administrasi
Hampir semua bank setiap bulan mengenakan biaya administrasi pada tiap rekening yang terdaftar di bank mereka. Hal ini bisa dikatakan sebagai hal yang wajar mengingat ketika menyimpan uang di bank sama artinya meminta pihak bank untuk menjaga uang yang dimiliki nasabah. Karenanya pihak bank mengenakan biaya administrasi guna membayar jasa mereka. Setiap trasaksi yang dilakukan nasabah, baik menarik uang, menyetor uang maupun mengirim uang akan dikenakan biaya administrasi tersendiri, terlepas dari biaya adaministrasi bulanan. Karenanya pihak bank bisa saja menutup rekening nasabah ketika saldo tabungan yang dimiliki tidak lagi mencukupi untuk biaya administrasi tersebut;

2. Sulit berkembang
Bagi nasabah yang menyimpan uang di bank dengan tujuan untuk menabung atau berinvestasi bisa dikatakan langkah yang diambil kurang tepat. Karena dengan menabung di bank apabila jumlah uang yang disetor tidak bertambah atau justru sebaliknya sering menarik uang, maka yang ada saldo tabungan akan semakin menipis. Ditambah adanya potongan biaya administrasi per bulan atau biaya administrasi atas transaksi yang dilakukan. Beda halnya ketika berinvestasi dengan instrumen investasi lainnya, baik reksadana, saham, obligasi, atau emas peluang untuk berkembang jauh lebih besar;

3. Bunga sedikit
Masih berhubungan dengan menjadikan menabung di bank sebagai salah satu cara berinvestasi. Pada dasarnya bunga yang diberikan oleh bank pada nasabahnya bisa dikatakan relatif kecil apabila dibandingkan dengan peluang keuntungan instrumen investasi yang lain;

4. Batasan transaksi
Meski bank memberikan fasilitas kemudahan bertransaksi yang dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun, akan tetapi bank juga membuat kebijakan dengan memberlakukan batasan transaksi bagi nasabahnya. Misalnya dalam menarik tunai uang di ATM, yang hanya dibatasi maksimal Rp 5.000.000 saja. Sehingga apabila pihak nasabah memerlukan dana yang banyak harus datang ke bank dan memenuhi persyaratan tertentu agar dapat menarik uang dengan jumlah yang dikehendaki;

5. Antri
Bank memang memberikan fasilitas yang memungkinkan untuk nasabah bertransaksi secara independen tanpa harus datang ke bank secara langsung. Namun, faktanya ada beberapa hal yang tidak bisa nasabah lakukan secara mandiri dan harus datang ke bank. Mengingat nasabah bank sangat banyak, maka besar kemungkinan bagi setiap nasabah harus mengantri beberapa waktu guna mendapat pelayanan dari pihak bank.

Faktor negatif yang diperoleh dari menabung di bank bukan hanya kekurangan-kekurangan itu sendiri. Akan tetapi, menabung di bank juga memiliki risiko yang cukup besar yakni ketika bank tersebut mengalami bankrut. Hal ini bukan hal yang mustahil, mengingat bank adalah salah satu badan usaha yang dalam menjalankan usahanya tidak terlepas dari dua hal, yakni keuntungan dan kerugian.

Terlebih di masa pandemi seperti saat ini yang mana pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara menunjukkan  angka negatif (resesi), tak rerkecuali Indonesia. Sehingga hal tersebut juga berdampak pada dunia usaha, yang mana tidak jarang banyak badan usaha yang mengurangi jumlah pekerjanya dengan melakukan PHK atau bahkan ada yang tutup total. Demikian halnya dengan usaha perbankan yang bisa saja mengalami kebangkturan dengan risiko dana nasabah yang mereka himpun terancam tidak dapat ditarik kembali.

Berkaca pada krisis ekonomi 1998 yang menghantam hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Banyak kasus bank bankrut di Indonesia kala itu, hingga merugikan nasabah. Dampaknya pada masa itu pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 600 triliun guna menyelamatkan perbankan yang diperoleh dari pinjaman International Monetary Fund (IMF) (finance.detik.com). Bahkan dampak krisis tersebut menyebabkan 16 bank dinyatakan bankrut oleh BI, namun hingga kini proses likuidasi bank tersebut belum selesai (liputan6.com).

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Belajar dari krisis moneter tahun 1997-1998 yang menimbulkan persoalan di bidang perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 melalui Pasal 37B mengamanatkan dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan guna mengatasi permasalahan perbankan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang menyalurkan keuangan ini. Pada tahun 2004 baru disahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang menjadi legal standing berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hingga setahun kemudian, 22 September 2005, Undang-Undang tersebut baru berlaku secara efektif dengan resmi beroperasinya Lembaga Penjamin Simpanan.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang LPS bahwasannya fungsi dari LPS diantaranya:
a. Menjamin simpanan nasabah; dan
b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai penjamin simpanan nasabah, LPS memiliki tugas sebagai berikut:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan 
b. Melaksanakan penjaminan simpanan.

Guna menjaminan keamanan dana nasabah yang disimpan di bank, pembentuk undang-undang mewajibkan setiap bank yang melakukan usaha di wilayab negara Indonesia diwajibkan menjadi peserta penjamin. Bank yang dimaksud baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR), namun tidak termasuk badan Kredit Desa. Sehingga bagi nasabah yang menyimpan dananya di bank yang beroperasi di wilayah Indonesia, seharusnya sudah tidak mengkhawatirkan lagi dananya akan hilang apabila bank terkait mengalami bankrut atau gagal. Karena dana tersebut telah dijamin oleh LPS.

Sebagai peserta penjamin bank memiliki beeberapa kewajiban yang telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang LPS. Salah satu kewajiban bank sebagai peserta penjamin yakni membayar premi penjaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf c undang-undang a quo.

Setiap bank mengeluarkan berbagai macam produk guna menarik minat nasabah. Terkait dengan jenis-jenis produk perbankan yang dijamin oleh LPS yakni giro, deposit, sertifikat deposit, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 10 Undang-Undang tentang LPS). Sehingga LPS tidak menjamin produk perbankan dalam bentuk saham, obligasi, Surat Utang Negara, reksadana, atau asuransi.

Mengenai besaran dana yang dijamin oleh LPS untuk saat ini (per oktober 2020) maksimal sebesar 2 milyar rupiah, hal ini didasarkan pada Pasal 29 Peraturan LPS Nomor 2/PLPS/2010  tentang Program Penjaminan Simpanan. Artinya bagi nasabah yang memiliki dana di suatu bank dengan nilai simpanan diatas 2 milyar, maka hanya 2 milyar rupiah yang dijamin oleh LPS. Untuk jumlah yang lebih besar dari itu LPS tidak memberikan jaminan. Sehingga apabila seorang nasabah menabung di sebuah dengan jumlah nominal tabungannya lebih dari 2 milyar kemudian bank terkait mengalami masalah hingga mengakibatkan bank tersebut bankrut, maka dana yang dijamin kembali oleh LPS hanya 2 milyar rupiah.

Akan tetapi, angka 2 milyar yang menjadi batas maksimal jumlah jaminan LPS tidak bersifat mutlak. Artinya jumlah tersebut bisa saja diubah mengikuti perkembangan zaman.  Adapun alasan perubahan jumlah nilai simpaanan yang dijamin harus memenuhi kriteria-kriteria berikut diantaranya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang LPS, yakni:
a. Terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan;
b. Terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun; atau
c. Jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dari 90% dari jumlah nasabah penyimpanan seluruh bank.

Langkah yang diambil pemerintah dan pembentuk undang-undang guna membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bisa dikatakan tepat. Tercatat sejak 2006 hingga 2020 menurut data LPS ada 103 bank yang mengalami bankrut.  Hal ini menunjukkan sebagai badan usaha bank juga memiliki peluang untuk bankrut atau likuidasi. Sehingga sangat diperlukan perlindungan atas dana para nasabah yang disimpan di bank terkait. 

Akan tetapi terkait jumlah dana yang dijamin oleh LPS yang sebesar 2 milyar untuk saat ini dirasa kurang tepat. Mengutip data dari LPS per Agustus 2020, jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh bank dengan nominal jumlah tabungan yang disimpan di rekening diatas 2 milyar mencapai 3.674 triliun rupiah. Sedangkan dari jumlah dana tersebut yang bisa dilindungi oleh LPS hanya berkisar 578 triliyun rupiah. Tentu jumlah dana yang dijamin tersebut relatif sedikit. 

Kenaikan jumlah jaminan simpanan juga didukung oleh Ketua Dewan Komisiner LPS. Bahkan pihaknya juga mengusulkan memperluas dana penjaminan masyarakat. Misalnya dana haji, dana pensiun, bahkan BPJS Ketenagakerjaan. Semoga dengan dinaikkannya nominal jaminan oleh LPS serta semakin luasnya produk perbankan yang dijamin akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap bank, serta mampu menunjang pembangunan ekonomi negara.





Sumber:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2010 tentang Program Penjaminan Simpanan
Cnbcindonesia.com
Liputan6.com
Finance.detik.com
Bisnis.com
Lps.go.id
Dosenekonomi.com
Okezone.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.