Gangguan Jiwa Bukan Satu-satunya Alasan Seseorang Terbebas dari Pidana

                Credit: pinterest


Beberapa waktu lalu di media, khususnya Indonesia, sempat viral kasus pembunuhan dimana seorang anak menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri dengan 79 kali tusukan. Meski tidak terjadi di dalam negeri kasus tersebut berhasil menyita perhatian publik karena pelaku pembunuhan terlihat tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Hal ini disebabkan pelaku pembunuhan yang terjadi di Malaysia pada tahun 2013 lalu dinyatakan gangguan jiwa sehingga pengadilan memutuskan memasukkan pelaku ke rumah sakit jiwa dan terhindar dari pidana.

Hampir serupa, di Indonesia beberapa hari lalu juga dikejutkan oleh pemberitaan penusukan yang dialami oleh salah satu pendakwah terkenal. Kasus itu bermula ketika sang pendakwah sedang melakukan dakwah disalah satu masjid di Lampung, tiba-tiba ia diserang oleh seorang laki-laki dengan pisau hingga melukai salah satu lengan korban. Bukan hanya dikejutkan oleh insiden penyerangan tersebut, publik juga dibuat tidak percaya ketika pihak keluarga pelaku menyatakan jika pelaku mengalami gangguan jiwa.

Namun berdasarkan hasil penyidikan polisi yang bekerjasama dengan tim psikiater menunjukkan bahwa tersangka penusukan dalam kondisi normal. Artinya tersangka tidak dalam kondisi mengalami gangguan kejiwa.

Pada dasarnya setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan hukuman (pidana) sebagai akibat dari tindakannya yang merugikan dan melanggar hak asasi orang lain. Namun ada kondisi dimana seseorang tidak menjalankan pidana yang seharusnya ia jalani karena adanya alasan penghapus pidana.
Berbicara mengenai alasan penghapus pidana, dalam teori hukum pidana alasan penghapus pidana terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Alasan pembenar berkaitan dengan perbuatan pelaku bukan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Artinya apa yang dilakukan oleh pelaku adalah perbuatan yang benar. 

Adapun contoh-contoh alasan pembenar sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang diantaranya:
1. Pembelaan terpaksa diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Hal ini merupakan bentuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda baik milik sendiri maupun orang lain.  
2. Melaksanakan ketentuan undang-undang daitur dalam Pasal 50 KUHP; 
3. Perintah jabatan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP. Contoh kasus ini adalah seorang algojo yang melakukan eksekusi mati terhadap terpidana mati.

Sedangkan alasan pemaaf merupakan alasan penghapus pidana dikarenakan kondisi pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum.

Pasal 44 KUHP mengatur mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab pelaku baik karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing). Apabila memang terbukti demikian maka terhadap pelaku tindak pidana hakim dapat memerintahkan memasukkan orang tersebut ke rumah sakit jiwa.

Selain dalam Pasal 44, ada alasan penghapus pidana lain yang termasuk dalam kategori alasan pemaaf. Diantaranya Pasal 49 ayat (2) KUHP mengenai pembelaan yang melampaui batas dan Pasal 51 ayat (2) KUHP tentang perintah jabatan tanpa wewenang.

Dalam KUHP mengenai daya paksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 48 juga merupakan salah satu alasan penghapus pidana. Namun, sebagaimana yang dituliskan oleh Prof. Moeljatno dalam bukunya ‘Asas-Asas Hukum Pidana’ bahwa belum ada kesatuan pendapat diantara para ahli apakah Pasal 48 ini termasuk sebagai alasan pembenar atau alasan pemaaf.

Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Soetami, Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung:PT Refika Aditama.

Sumber berita:
www.jawapos.com 
www.bbc.com
www.tribunnews.com 




2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.