Artikel Hukum
Mengenal Saham dan Aspek Pidana dalam Goreng Saham
Credit: pixabay.com
Saham, mungkin bagi sebagian orang Indonesia masih merasa asing dengan salah satu instrumen investasi ini. Sebagian mungkin sudah paham dan bahkan menjadi salah satu dari sedikit orang Indonesia yang berinvestasi dengan membeli surat kepemilikan perusahaan. Namun, sebagian besar orang Indonesia bisa dipastikan belum paham atau bahkan baru mendengar istilah ‘saham’.
Dari 270 juta penduduk Indonesia, sebagaimana data yang dihimpun dari PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 30 Juli 2020, hanya 1,28 juta Single Investor Identification (SID) yang terdaftar sebagai investor saham. Artinya hanya sekitar 0,5% masyarakat Indonesia yang menanamkan modalnya dalam bentuk saham. Jumlah ini masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga misalnya Malaysia dan Singapura. Yang mana pada tahun 2017 lalu jumlah penduduk Malaysia yang berinvestasi saham mencapai 3,8 juta orang atau sekitar 12,8%. Sedangkan di tahun yang sama Singapura mencatatkan sekitar 30% penduduknya atau 1,5 juta jiwa telah menabung saham (kumparan.com).
Menurut KBBI saham merupakan surat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memberikan hak atas deviden dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor. Dengan membeli dan memiliki saham suatu perusahaan artinya investor tersebut telah membeli dan memiliki sebagian dari perusahaan itu. Karena sebagai pemilik perusahaan, pemegang saham tersebut berhak untuk bersuara dalam menentukan nasib perusahaan yang dimiliki. Hak bersuara pemegang saham dalam menentukan kebijakan perusahaan dilaksanakan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Atau dengan kata lain para pemegang saham berhak untuk mengikuti RUPS yang digelar perusahaan yang diadakan setahun sekali.
Sebuah perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) atau menawarkan sahamnya kepada publik di Bursa Efek dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Adapun keuntungan-keuntungan yang diperoleh perusahaan saat melantai di bursa efek yakni secara materiil perusahaan tersebut akan mendapatkan tambahan modal tanpa harus menggantinya dikemudian hari sebagaimana pinjaman. Disamping itu citra perusahaan akan dipandang lebih baik, karena sebuah perusahaan yang telah go public diwajibkan untuk mempublikasikan laporan keuangannya perkuartal sehingga lebih akuntabel. Di sisi lain dari segi pasar, perusahaan yang telah melantai di bursa efek lebih diperhatikan sehingga akan lebih mempermudah dalam memasarkan produk mereka.
Bukan hanya perusahaan yang diuntungkan dengan adanya IPO, masyarakat pun juga diuntungkan dengan lebih banyak pilihan saham di bursa efek. Dengan lebih banyak pilihan perusahaan tentu saja harga sahamnya pun beragam, sehingga secara tidak langsung juga dapat menarik minat masyarakat untuk berinvestasi.
Banyak alasan mengapa orang ingin berinvestasi saham, diantaranya ingin meraih financial freedom dengan mendapatkan pasive income hingga ingin menjadi kaya. Hal tersebut sepertinya bukan isapan jempol belaka, buktinya Warren Buffett, salah satu orang terkaya di dunia juga merupakan seorang investor saham. Bahkan strateginya dalam berinvestasi menjadi kiblat bagi para investor di dunia.
Secara umum keuntungan financia (reward) yang diperoleh oleh seorang investor saham diantaranya yaitu deviden dan capital gain. Deviden merupakan bagian laba atau pendapatan perusahaan yang besarnya ditetapkan oleh direksi serta disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk dibagikan pada pemegang saham (KBBI). Dengan kata lain, perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan bisnisnya akan membagikan keuntungan tersebut kepada pemegang saham secara proporsional, sesuai dengan saham yang dimiliki oleh para pemegang saham. Perusahaan biasanya membagikan devidennya setiap tahun, entah sekali atau dua kali, tergantung kebijakan setiap perusahaan.
Sebagaimana orang berdagang atau berbisnis pada umunya, seorang investor dalam bertransaksi saham pasti mengharapkan keuntungan yang didapat. Keuntungan tersebutlah yang disebut sebagai capital gain, yakni selisih harga beli dan harga jual saham. Tentunya yang dimaksud dengan selisih yaitu harga jual lebih tinggi dari harga beli sehingga investor akan mendapatkan keuntungan. Kebanyakan investor lebih menyukai capital gain dibanding deviden. Hal ini dikarenakan keuntungan yang diperoleh dari capital gain lebih tinggi dari deviden.
Disamping menawarkan berbagai keuntungan yang cukup menggiurkan investasi saham juga tidak lekang dari risiko yang bersifat merugikan. Bahkan tidak jarang orang merasa ‘kapok’ berinvestasi saham karena pernah merasakan risiko-risiko ini. Namun, semua risiko-risiko ini dapat diminimalisir dengan memperbanyak ilmu dan pengetahuan tentang teknik-teknik berinvestasi saham. Adapun risiko-risiko tersebut yaitu tidak mendapatkan deviden, capital loss, risiko likuidasi perusahaan, dan saham delisting dari bursa:
1. Pembagian deviden sebuah perusahaan dilakukan jika perusahaan tersebut mendapatkan laba. Namun ketika perusahaan tersebut mengalami kerugian atau tidak mendapatkan laba maka secara otomatis tidak akan ada deviden yang dibagikan. Disamping itu, sebuah perusahaan bisa saja tidak membagikan keuntungan yang mereka peroleh kepada pemegang saham akan tetapi digunakan untuk ekspansi bisnis atau melunasi hutang;
2. Capital loss merupakan kebalikan dari capital gain, yakni harga beli saham lebih tinggi daripada harga jual saham yang sehingga investor mengalami kerugian;
3. Risiko likuidasi perusahaan yaitu tindakan untuk membubarkan dan menghentikan kegiatan perusahaan. Hal ini disebabkan oleh kebangkrutan perusahaan atau masalah hukum lainnya yang menyangkut perusahaan;
4. Saham delisting dari bursa, berarti saham tersebut telah dihapus dari bursa sehingga tidak dapat diperdagangkan lagi. Hal tersebut disebabkan oleh permintaan perusahaan itu sendiri (voluntary delisting) karena ingin go privat (perusahaan tertutup). Atau karena dikeluarkan oleh otoritas bursa (forced delisting) yang disebabkan perusahaan tersebut tidak memenuhi kondisi tertentu atau melanggar aturan bursa.
Disamping risiko-risiko di atas, tak jarang para investor terjebak dalam saham gorengan. Tidak ada definisi yang baku terkait saham gorengan ini. Karena pada dasarnya istilah ini lahir di kalangan masyarakat bukan dari Bursa Efek. Mengutip pendapat dari Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI, Kristian Manulang bahwa saham gorengan merupakan saham yang memiliki volatilitas tinggi dan tidak didukung oleh fundamental dan informasi yang memadai. Adapun ciri-ciri saham gorengan diantaranya;
1. Kapitalisasi pasar rendah (dibawah 1 triliun) sehingga modal yang digunakan oleh oknum untuk menggoreng saham tidak terlalu tinggi.
2. Naik turun nilai dan volume perdagangan drastis;
3. Fundamental perusahaan cenderung lemah atau bukan merupakan saham unggulan. Hal ini berkaitan dengan pergerakan harga saham yang naik secara drastis tidak diimbangi dengan kinerja perusahaan yang positif;
4. Antrian ‘bid dan offer’ tidak wajar.
Munculnya saham gorengan ini tidak terlepas dari tindakan para oknum (bandar) untuk mengendalikan harga suatu saham gorengan guna memperoleh profit dengan cepat. Gambaran bandar dalam mengendalikan atau menggoreng saham, yakni:
1. Bandar akan memilih saham yang akan digoreng. Saham yang dipilih untuk digoreng biasanya saham yang memiliki market capital (kapitalisasi pasar) relatif kecil, biasanya tergolong saham lapis 2 atau 3;
2. Mempromosikan secara fundamental saham yang akan digoreng;
3. Menaikkan harga saham dengan memborong saham yang ada di antrian jual (offer);
4. Mempromosikan kembali saham yang telah dinaikkan harganya sehingga menarik minat investor lain untuk membeli saham tersebut;
5. Ketika harga sudah di puncak atau antrean beli (bid) menebal atau banyak, bandar tersebut akan menjual saham-sahamnya sehingga harga saham tersebut di bursa kembali turun.
Meski di satu sisi menguntungkan namun di sisi lain aktivitas ini juga merugikan investor lain, terutama bagi mereka yang masih pendatang baru di dunia saham dan mengolah sahamnya secara mandiri. Bukan hanya individu, bahkan negara baru-baru ini juga mengalami kerugian karena saham gorengan yakni terkait kasus jiwasraya. Pihak kejaksaan menyebutkan modus para tersangka korupsi PT Asusransi Jiwasraya (persero) dengan menggoreng saham-saham terkait dengan harga tinggi yang kemudian dibeli oleh jiwasraya.
Lantas bagaimanakah perlindungan hukum bagi investor terkait aktivitas goreng-menggoreng saham?
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang menjadi dasar hukum dalam bertransaksi di pasar modal, tidak menyebutkan mengenai tindakan goreng saham. Akan tetapi digunakan istilah ‘manipulasi pasar’ sebagaimana diatur dalam Bab XI tentang Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam terkhusus dalam Pasal 91, Pasal 92 dan Pasal 93 Undang-undang a quo.
Terhadap tindakan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 91, Pasal 92 dan Pasal 93 Undang-Undang Pasar Modal, dalam Pasal 104 undang-undang yang sama mengancam tindakan tersebut dengan pidana. Adapun ancaman pidananya yakni pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal 15 milyar.
Dengan adanya ancaman sanksi pidana terhadap kegiatan goreng-menggoreng saham, diharapkan bisa membuat para bandar berpikir ulang sebelum menjalankan aksinya. Sebaliknya bagi pemerintah atau pihak yang berwenang agar lebih memerhatikan dan lebih memperbaiki sistem keamanan dan pengawasan dalam pasar modal sehingga bisa mendorong jumlah investor dalam negeri untuk berinvestasi.
Sumber
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Investor Saham Pemula. 2019. Yuk Belajar Saham Untuk Pemula. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Sumber internet
Kumparan.com
CNBCIndonesia.com
Kompas.com
Bisnis.com
Hukumonline.com
Tidak ada komentar