Artikel Hukum
Perjanjian Perkawinan: Antara Cinta dan Kepercayaan
Hal yang sangat umum ketika calon pasangan suami istri yang hendak menyelenggarakan perkawinan dibuat sibuk dengan berbagi persiapan mulai dari mahar hingga pesta pernikahan yang akan dibuat sedemikian rupa. Namun, pernahkah terbesit di benak para calon pengantin tersebut untuk menyiapkan perjanjian perkawinan?. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat jarang ditemui pasangan yang memutuskan untuk membuat perjanjian perkawinan, paling hanya orang-orang tertentu yang menganggap penting perjanjian perkawinan dalam perkawinan mereka.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Bunyi pasal tersebut jelas bahwasanya perkawinan bertujuan untuk meraih kebahagiaan.
Akan tetapi, kebahagiaan tidak mudah di dapat dalam mahligai rumah tangga tersebut. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pasangan suami istri untuk mempertahankan perkawinan mereka. Bahkan tidak jarang pasangan yang memutuskan untuk bercerai meski sudah memiliki anak dan telah bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama.
Karenanya perjanjian perkawinan dianggap sebagai salah satu langkah persuasif dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan perkawinan. Salim HS dan ES Nurbani (2014) dalam bukunya menuliskan perjanjian perkawinan dibuat bertujuan sebagai keabsahan perkawinan, guna mencegah perbuatan yang tergesa-gesa mengingat perkawinan untuk seumur hidup, demi kepastian hukum, alat bukti yang sah, serta mencegah adanya penyelundupan hukum.
Dalam jurnal Al’adl Hanafi Arief menuliskan manfaat adanya perjanjian perkawinan, diantaranya:
1. Perjanjian perkawinan memberikan batasan bagi suami istri sehingga dapat mencegah dan mengurangi konflik yang terjadi dalam perkawinan;
2. Perjanjian perkawinan bisa dijadikan acuan jika suatu saat timbul konflik, meski konflik tersebut tidak dikehendaki;
3. Jika konflik harus berakhir dengan perceraian, maka perjanjian perkawinan dapat dijadikan rujukan sehingga masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajibannya.
Secara yuridis mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 139-154 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Meskipun hukum nasional mengakomodir perjanjian perkawinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan namun tidak menjadikan perjanjian perkawinan sebagai suatu keharusan yang harus dibuat oleh calon atau pasangan suami istri. Perjanjian perkawinan hanya bersifat kebolehan, yang artinya calon pasangan suami istri bisa menentukan untuk membuat perjanjian perkawinan atau tidak, tergantung kebutuhan dan kesepakatan masing-masing.
Peraturan perundang-undangan tidak dijelaskan secara khusus mengenai pengertian perjanjian perkawinan. Namun para ahli telah memberikan definisi mengenai perjanjian perkawinan, salah satunya yaitu Happy Susanto. Dalam tulisannya Happy Susanto menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan sebelum perkawinan mereka dilangsungkan, dalam isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka.
Pada dasarnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan bahwasanya harta benda yang diperoleh pasangan suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama. Namun ketentuan ini bisa berlaku lain apabila kedua belah pihak, suami istri, menentukan lain melalui perjanjian perkawinan. Artinya sangat memungkinkan bagi pasangan suami istri membuat perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan.
Sebagaimana pasal 139 KUHPerdata menyebutkan bahwa dengan adanya perjanjian perkawinan calon suami istri berhak menyiapkan penyimpangan peraturan perundang-undangan mengenai persatuan harta kekayaan sepanjang tidak menyalahi kesusilaan maupun ketertiban umum. Lebih lanjut secara keseluruhan dalam ketentuan Pasal 140-154 KUHPerdata yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan membahas mengenai harta kekayaan.
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam membagi bentuk perjanjian perkawinan yang berupa taklik talak dan perjanjian yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Pasal 45 KIH). Mengenai perjanjian yang tidak bertentangan dengan islam lebih ditekankan pada perjanjian perkawinan yang berkaitan dengan percampuran harta pribadi maupun pemisahan harta.
Dari kedua dasar hukum tersebut dapat disimpulkan baik KUHPerdata maupun Kompilasi Hukum Islam dari sisi substansi perjanjian perkawinan cenderung mengatur mengenai harta kekayaan, termasuk di dalamnya terkait pemisahan harta kekayaan. Akan tetapi adanya pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan tidak mengubah hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istri dalam perkawinan. Misalnya kewajiban suami untuk menafkahi keluarga, termasuk istri, tidak akan hilang meski keduanya memisahkan harta kekayaan masing-masing.
Namun nyatanya, perjanjian perkawinan tidak selalu mengatur mengenai harta kekayaan. Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Perkawinan menyebutkan “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.” Artinya isi dari perjanjian perkawinan bisa berupa apa saja yang sekiranya penting bagi pasangan, sepanjang tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Apabila diinterpretasikan lebih lanjut mengenai batasan-batasan isi dari perjanjian perkawinan mengutip dari buku A. K. Muhammad (1990), yakni:
1. Tidak melanggar batas hukum, misalnya, dalam isi perjanjian dituliskan jika istri tidak diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Padahal jelas dalam hukum nasional perempuan yang telah bersuami berwenang untuk melakukan perbuatan hukum;
2. Tidak melanggar batas agama, misalnya, dalam perjanjian memuat ketentuan yang membolehkan suami atau istri bergaul bebas dengan perempuan atau laki-laki lain;
3. Tidak melanggar batas kesusilaan, misalnya, dalam perjanjian perkawinan berisi ketentuan bahwa suami tidak boleh mengontrol terhadap perbuatan istri di luar rumah, ataupun sebaliknya.
Pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 perjanjian perkawinan yang dulunya hanya bisa dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kini menjadi lebih longgar. Sehingga pasangan yang masih terikat dalam perkawinan atau pasangan yang telah menikah namun belum bercerai dapat membuat perjanjian perkawinan.
Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Isi perjanjian perkawinan juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut di dalamnya. Sejatinya perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian. Terkait isi perjanjian baik mengenai harta kekayaan maupun perjanjian lainnya tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali kedua belah pihak telah bersepakat untuk mencabut atau mengubah isi perjanjian perkawinan tersebut. Dan terhadap perubahan atau pencabutan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Lantas bagaimana? Pentingkah bagi setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan atau yang telah berumah tangga membuat perjanjian perkawinan? Jawabannya tentu saja kembali ke masing-masing orang.
Jika masing-masing pasangan akan merasa lebih nyaman serta aman dan menganggap penting keberadaan sebuah perjanjian perkawinan maka pasangan bisa memilih alternatif untuk membuat perjanjian perkawinan. Akan tetapi, jika kedua belah pihak suami istri sudah merasa aman dan telah mempercayai pasangannya serta menganggap tidak perlu adanya perjanjian perkawinan maka pasangan boleh memutuskan untuk tidak membuat perjanjian perkawinan.
Sumber Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Kompilasi Hukum Islam;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Sumber Literasi:
Arief, Hanafi, “Perjanjian dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Piositif di Indonesia)”, Jurnal Al’adl, Vol.IX, No.2, 2017.
Abdillah, Y. Yusuf, “Perjanjian Perkawinan Sebagai Upaya Membentuk Keluarga Bahagia (Tinjauan Maqasid asy-Syariah)”, Al-Ahwal, Vol.10, No.2, 2017.
Farazd, Haedah. “Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.8, No.3, 2008.
HS, Salim dan ES Nurbani. 2014. Perbandingan Hukum Perdata: Compartive Civil Law. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muhammad, A.K. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Susanto, Happy. 2008. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta: Visimedia.
Tidak ada komentar